Minggu, 08 Agustus 2010

satu..

A

Braak!!!
Ku banting pintu kamar di belakangku. Masih dengan posisi tegak berdiri, ku tutupi wajahku dengan kedua tanganku. Air mata tak terbendung mengalir begitu saja. Hancur sudah. Tak bersisa semuanya. Tak layak lagi aku dicinta.
Kubiarkan panggilan teman-teman kos ku di depan pintu kamarku. Tak akan pernah bisa kuceritakan ini pada mereka. Tak akan.
“Adinda..!”
Tok..tok.tok..
“Dinda..Din, ayo dong buka pintunya.”
Tok..tok..tok…
“Ndot, buka napeh? Kenapa lu? Dateng-dateng dah banting sana banting sini. Aduh! Sakit tahu!”, seru Lin sambil menatap Mila galak.
“Lu ngomong ati-ati dong, Lin! Si Dinda lagi mewek lu ngomong gitu. Mana mau dia buka ni pintu.”, bela Mila sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Dinda.
“Tu anak kenapa lagi sih Mil? Berantem lagi sama pacarnya? Heuuh..masih betah aja tuh Dindot ma tuh buaya. Perlu gak kita bilang kalo waktu itu kit…”, ucapan Lin terpotong.
“mmm…auun..ehmm”, Lin mencoba bicara.
“Jangan! Gila apa lu? Hati-hati ah, jagalah perasaannya Dinda dikit.”, omel Mila.
Kreek..
Suara pintu terbuka. Dinda mengintip dari balik pintu kamarnya.
“Apa yang perlu aku tahu tapi menurut kalian sebaiknya tidak?”, tanya Dinda penuh selidik.
Mila dan Lin saling bertukar pandang. Lin mengangkat bahu.
“Gue gak ngerti apa yang lu omongin Ndot.”, sambil melirik Mila.
Mila yang menangkap maksud Lin menegaskan jawaban Lin, “Iya gak ada apa-apa, tadi gue Cuma mau bilang sama lu. Lin sekarang dah pinter massage muka ma punggung. Hasil magangnya sukses banget gitu Nda. Jadi kalo muka lu keliatan bengep abis nangis, yaa…coba aja di pijet-pijet ma Lin. Hitung-hitung, facial ala kos an lah.”
Dinda menatap Lin dan Mila bergantian. Sepasang manusia yang ditatapnya tampak mengkeret di depannya.
Lin berbisik, “Busyet dah, tampangnya kayak singa kelaperan.”
Duk!
Kaki Mila menendang kaki Lin pelan. Lin meringis kesakitan.
Dinda pun membuka suara, “As you both know, Mila doesn’t good when she lie.”
Braak!!
Pintu di hadapan Mila dan Lin terbanting lagi.
Lin menatap Mila geli, “Kayaknya lu kudu ambil mata kuliah 3 sks lagi Mil”, ujarnya sambil melenggang pergi ke ruang tamu.
“Maksud lu? Ogah amat, seminar gue tahun ini. Mata kuliah apa pula?”, Tanya Mila.
“Ngibul. Biar gaya bohong lu oke dikit.”, jawab Lin tengil.
“Oh ya? Dosennya siapa kalo gitu?”, lanjut Mila.
“Pak Bohong yang tahun lalu nikah sama Bu Tipu dan memiliki sepasang anak kembar bernama Bohong membohongi dan Tipu menipu. Konon sepasang suami istri itu berasal dari Negara Fitnah nan Keji dan Mungkar.”, celoteh Lin yang langsung ditanggapi Mila dengan lemparan bantal tepat di wajahnya.
“Gelo bin garing. That’s you!!”, sahutnya.
Keduanya lama terdiam sambil menonton televisi yang gak jelas iklannya. Gak tahu garuk-garukan, tarik-tarikan, tonjok-tonjokan? Yang jelas bukan cium-ciuman. Ya udah disensor lah samalembaga sensor kalo ada iklan kayak gitu!
“Gue tetep ngerasa bersalah. Gw rasa Dindot perlu tahu apa yang kita lihat kemarin di depan fakultas Mil.”, kata Lin pelan.
“Jangan sekarang Lin. Kasihan Dinda. Gue tahu lu gak suka Putra memperlakukan dia seperti itu. Tapi gak sekarang. Satu lagi. Ralat! Bukan kita, tapi lu.”
“She deserve for someone better, Mil. She’s perfect!”
“Tahan emosi lu Lin”
“Awas aja tuh Putra. Sekali depan mata gue dia bikin Dindot lebih parah dari ini, jurus taekwondo sabuk merah gue dah siap buat matahin giginya itu.”
“Kalo gue jadi Putra, dengan senang hati deh gue. Secara ngehemat uang berobat ke dokter gigi. Hahahaha…”
“Serius Mil. Putra dah keterlaluan. Bukan gue aja kali yang ngeliat ni depan mata. Lu tanya aja temen-temen yang lain. Terang-terangan gitu Putranya ngelabain Dinda!”
Mila terdiam. Dia tahu pasti kebenaran itu. Hanya saja, dia juga tahu, sama seperti yang teman-teman fakultasnya ketahui. Betapa besar rasa sayang Dinda pada Putra yang tak dibalas dengan hal serupa. Hal itulah yang membuat ‘pemandangan-pemandangan’ busuk di depan mata itu menjadi rahasia publik. Komunitas fakultas khususnya. Semua teman menutupi hal itu dari Dinda.
“Hhhh, tugas kita hanya ‘mengangkat’ Dinda ketika ia jatuh dan menguatkan dia dalam pilihannya. Dinda gak akan lama bertahan seperti ini Lin, yakinlah itu. Batas kesabarannya akan segera habis.”, jawab Mila pelan.
Aku tahu, kamu sayang dia. Bukan. Kamu cinta dia. Demi dia kamu rela ngapain aja Din. Tapi kuharap semua itu masih pada batasnya.
Keduanya pun beranjak ke kamar masing-masing.
Selamat malam sahabatku. You’re so lovable for everyone. Not like me. Semoga semuanya akan baik-baik saja.
Tanpa mereka berdua tahu, di balik pintu kamar itu. Dinda duduk meringkuk, mendengar semua pembicaraan mereka. Air mata mengalir, tangannya menahan rasa nyeri di dadanya. Menyesakkan. Bodohnya aku, ujarnya dalam hati.
--------------------

L

“Fiuh, teriknyaa..”, keluh Lin sambil berusaha menutupi sebagian wajahnya sebisa mungkin menggunakan map biru yang ia pegang.
“Tahu gini, gak mau deh gue nerima ajakan tuh cowok buat lunch bareng. Udah bokek, kecele, gosong gini. Huft.”, keluh Lin lagi. Orang-orang di sekitar Lin celingak celinguk mencari lawan bicara Lin atau kadang curi-curi pandang hanya untuk memastikan apakah Lin mengenakan headphone-nya. Si tersangka yang telah menebarkan pikiran-pikiran aneh bin buruk di kepala orang lain ini malah tetap cuek sambil berjalan dan menendang apa saja disekitarnya. Batu, gelas plastik kosong, gumpalan kertas bekas, kucing, orang lagi duduk, mobil…oke..oke..tiga hal terakhir emang cuma dramatisasi aja . Lin benar-benar disibukkan oleh pikirannya sendiri mengingat kebodohannya 1 jam yang lalu.
“Hai, sori. Lama ya? Udah lama nunggunnya? Mau pesan apa?”, Tanya lelaki di hadapannya yang baru saja datang. Lin terperangah, lamunannya buyar.
“Oh iya, baru pesen cappuccino aja kok. Belum makan. Nungguin elo nih. Kemana aja Pak baru datang? Hampir karatan gue nungguin elo.” Jawab Lin dengan pertanyaan lagi.
“Wah, macet di jalan. Ada meeting dulu bentar, terus temen kuliah pasca ada yang minta dibantuin tugasnya jadi sempet mampir ke kampus juga tadi. Duh, maaf banget ya. Saya jadi gak enak.. saya traktir deh. Mas!”, ujarnya seraya memanggil mas-mas kafe.
Lin mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk menatap lelaki itu lekat-lekat. Gila, cakep banget sih lo, serunya dalam hati.
“ Lin? Halo Lin? Lintaang?” panggil lelaki itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Lin.
“Ups! Iya, maaf-maaf. Ada apa Luk?” jawab Lin gugup. Ketahuan deh gue ngeliatin dia, pasti dia dah mikir yang macem-macem nih, runtuk Lin.
“Mau pesan apa?”, tanya lelaki yang bernama Luki itu (yaelah mbak, bilang kek dari tadi, pembaca penasaran tahu!)
“Ehm, sama deh kayak elo aja Luk”, jawab Lin masih dengan wajah yang setengah memerah.
“Oke yang tadi dua porsi aja ya Mas.” Ujar Luki pada mas-mas kafe. Mas-mas kafe tadi cuma angguk-angguk aja denger pesenan Luki, sambil menatap Lin geli. Tatapan mas-mas kafe disahut Lin dengan pandangan hendak menerkam. Jadilah sekian menit yang singkat itu acara pandang-memandang antara Lin dan mas-mas kafe.
“Gimana kampus Lin?” Tanya Luki.
“Dosen-dosen yang jenggotan, udah pada cukur jenggot, yang belum jenggotan sekarang udah jenggotan, trus kambing di belakang yang kemaren belum mandi sampai sekarang juga belum mandi-mandi. Nungguin lo dateng baru mereka pada mau mandi, kan elo yang mandiin.”, jawab Lin asal.
“Yee, kan yang saya maksud bukan itu. Ada perkembangan apa kek gitu dari mahasiswa mahasiswi baru?”
“Mahasiswa apa mahasiswa?” selidik Lin.
Luki yang ditanya hanya nyengir-nyengir kuda, walaupun gak ada kuda yang seganteng dia. Soalnya masih cakepan kuda sih! Lho??
“Nothing tuh Luk. Sori, sibuk ngurusin skripsi jadi gak ikut jeng-jeng rumpian lagi.” Sergah Lin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar