Rabu, 23 Juni 2010

feeling blue

Killing time..

Aku sempat meringis geli mendengar frase itu meluncur licin dari mulut temanku. Teman yang hampir setiap weekend dihabiskan sendirian di kosnya. Selalu ditinggal aku dan teman ku pulang ke rumah, rumah kami berada di Tangerang Selatan dan Bekasi atau tidak bisa bersama menghabiskan kebosanan kami, dia juga jarang sekali merasakan indahnya malam mingguan dengan pacarnya. Bisa dibilang, pacarnya sangat menghargai quantity time with family daripada dengannya. Bola pingpong dioper? Ya, situasi sang pacar dan keluarganya kurang lebih begitu. Kalau pacarnya yang tidak pulang ke rumahnya, orangtuanya –baca: mamanya- yang akan mengunjungi kontrakannya. Hanya untuk menemui anak lelaki satu-satunya itu.

Jadi, tinggallah temanku itu membunuh sepinya. Entah dengan melahap habis novel-novel atau buku-buku dahaga jiwa, sekedar creambath atau luluran di salon, hotspot­-an di kampus atau perpustakaan pusat, berorganisasi ria, bahkan mengirim sms-sms garing pada ku dan satu teman dengan kata-kata:

“Lagi apa Buk?”

“Bete sendirian nih...sepinyaa..”

atau

“Huwaaa...pengen nangis rasanya, kayak gak punya cowok aja nih gw!”

Killing time..

Belakangan ini pun, sekitar seminggu terakhir aku menggunakan frasa itu, kubenamkan dalam-dalam dan kuhayati maknanya. Aku sudah mendaftarkan diri di tempat peminjaman komik dan novel, yang dulunya saat meminjam aku memilih menggunakan akun pacarku kala itu. Sempat malu karena ketahuan Ibu penjaga, karena beliau hapal nomor dan nama, bahkan wajah pacarku itu. Ralat. Saat ketangkap basah menggunakan akun dia, kami sudah resmi berpisah. Legal terdaftar dengan nomor anggota 5937 yang berulang kali sempat salah mengucap, aku akhirnya lebih sering menghabiskan uang saku mingguanku untuk meminjam novel dan komik. Mulanya sekian komik, satu novel. Berikutnya sedikit komik, satu novel. Esoknya satu novel. Esoknya lagi tiga novel. Berturut-turut kutamatkan The Nanny Diaries, The X-Files, Eclipse, Breaking Dawn, terakhir tadi tepat pukul 10.00 pm Club Camilan terletak di samping bantalku, yang artinya telah selesai kubaca. Ada dua novel lagi sebenarnya. Sangat menggoda untuk dicicipi rasanya. Pintu Terlarang dan All American Girl. Tetapi setelah ‘kuintip’ jalan ceritanya..aaah..aku kecewa..tak menarik hasratku dan rasa ingin tahu yang tak putus-putusnya saat melakukannya. Membosankan, pikirku pendek.

Dia, Perahu Kertas adalah dua novel yang dipinjamkan teman killing time-ku untuk kuhabiskan juga. Tampaknya dia tahu aku sedang haus buaian mimpi dan imajinasi penulis-penulis novel itu. Entah untuk apa. Yah, sekedar killing time. Jujur saja. Dua novel yang dipinjamkan temanku itu berhasil memporak-porandakan perasaan yang sekian waktu, paling tidak empat bulan, telah yakin ku tata rapi. Tak terusik. Tak menyakiti. Aman dengan pagar beton yang kubangun tinggi berfondasi tawa dan candaku sejauh ini. Kosong. Nihil. Sperti cerita bagaimana Denia menghapus cinta sebegitu besar terhadap Janu, sepupu jauhnya. Melepasnya untuk menemui cinta lain yang ternyata baru Janu menyadari bahwa dia juga mencintai Denia sama besarnya justru disaat terakhri fase Dejanufikasi yang dilakoni Denia. Cerita bagaimana Denia menemukan sosok Saka yang membangunkannya dari derita yang ia pendam seorang diri. Tanpa disadari Denia justru jatuh hati pada Saka dengan segala keketusan kata-kata dan senyum manisnya, tentu saja. Hummmm...

Hampa. Pilu. Seperti cerita bagaimana Keenan dan Kugy saling menghindar satu sama lain. Ojos yang terluka karena Kugy. Wanda akibat ketidaktegasan Keenan pada perasaannya sendiri. Remi karena Kugy mengira dialah pangeran kehidupan nyatanya yang sangatlah sempurna. Lohde tempat hati bisa berteduh dengan ketulusan kasih dan sayangnya, semurni senyumnya yang selalu ada untuk Keenan. Tetapi harus meminta Keenan pergi darinya karena ‘tempat’ Keenan bukanlah dengannya. Keenan dan Kugy pada akhirnya, mengakhiri kegiatan saling mengacuhkan dan bersembunyi dalam kedok Radar Neptunus dengan meninggalkan luka pada banyak orang.

Tercekat. Aku menahan nafas. Perasaanku berdenyit perih.

Aku begitu hapal rasa sakitnya sehingga takut untuk merasakannya atau memulainya lagi.

Kalimat hati bukan untuk memilih, tetapi dipilih oleh cinta lagi-lagi menghujamkan perih pada luka yang belum menutup ini. Seakan ditebar garam dan irisan jeruk lemon di atasnya, aku terdiam. Menahan sakit. Aku tidak bisa bercerita pada siapapun. Selain kata-kata “Katakan pada Okta, Perahu Kertas bikin pendirian gw goyah!”, temanku bertanya-tanya. Aku enggan menjawab. Aku tahu persis tanggapannya akan seperti apa.

Club Camilan. Novel yang ada karena cerita tiga sahabat lesbian di blognya. Bukan karena pro dan kontra mengenai orientasi seks mereka yang lain dari ‘biasa’nya yang menarik perhatianku, melainkan pada penekanan emosi yang disampaikan melalui kata-kata itu. Sedikit kuperoleh keberanian berdiri menghadapi luka dan perih dari Nies. Kupelajari kepalsuan untuk kebahagiaan publik dari Bee. Kupelajari kisah-kisah masa lalu dan kegamangan menetapkan pilihan pada Donna. Donna cukup berani mengurai masalahnya satu persatu, hal yang akan butuh waktu kesadaran lama untuk aku lakukan. Lagi-lagi, cinta.

Siapakah aku dalam novel-novel itu? Pertanyaan itu membayangiku. Ku analisa singkat. Bella Swan kah? Kugy kah? Lohde kah? Denia kah? Nies kah? Donna kah? Kutepis cepat dua tokoh terakhir dari benakku segera. Bergeleng-geleng kepala dan sempat mebelalakkan mata karena terkejut oleh pikiranku sendiri yang sangat menakjubkan itu. Aku memang sering kali dilukai lelaki dan cowok-cowok brengsek di luar sana. But, i’m still straight. Tak dipungkiri memang, apa yang tokoh-tokoh Club Camilan rasakan, masalah yang mengitari mereka, yang memberiku pelajaran ini itu, cukup menyatu dengan pikiran sadarku.

Sekejap pikiranku melayang ke kehidupan kampus. Lelah menggerogoti tubuhku. Ancang-ancang mewakili angkatan tanding voli tadi sore, walau akhirnya menang, aku dikeluarkan dari lapangan setelah dua kali gagal membalikkan serivis dan satu kali gagal melakukan servis. Catatan: bahkan bola voli itu tidak sanggup melintasi net yang menjulang tinggi itu. Aku tidak melebih-lebihkan. Memang masih awam sekali sih. Teriakan satu temanku yang benar-benar membuat aku minder

“Awas! Kalo ga bisa, gw jadiin rica-rica lw!”.

Beuh, berharap tidak bertemu dengannya usai pertandingan. Walaupun dia hanya bercanda, aku bisa membayangkan bagaimana dia dan teman-temanya sibuk mengomentari ketidakbecusanku di lapangan. Ditambah kehadiran Miss perfect binti jutek dengan topeng pintarnya itu. Grrr. Sebal.

Kemudian pikiranku melanglang buana kembali. Malah bisa dibilang berandai-andai. Kalau saja ada orang yang bisa kutemukan dan ada untukku melepas lelah dan cerita, orang itu pasti....aaaarggghh!!!! Dia! Dia! Satu nama itu menyontakku kuat dan mengembalikan kesadaranku. Air mata turun tanpa aba-aba. Seakan hendak menuju pusat rasa sakit dan membawanya pergi.

Aku begitu hapal rasa sakitnya sehingga takut untuk merasakannya atau memulainya lagi.

Rutinitas menangis ini bukan kesukaanku. Banyak teman mengatakan akulah si Termehek-mehek. Tak keberatan kalau mereka memandangku seperti itu. Masalahnya, tak kutemukan lagi topeng selain canda dan tawa yang sering dinilai over itu untuk meredam sakit ini. Ketika topeng itu terjatuh karena tali atau tangan penahannya tak sanggup menyangganya lagi, tangispun membuncah. Sepuas hati merasa lega setelahnya. Aku yakin, bukan aku seorang yang merasakannya, kok. Seratus persen.

Ya, bak pemutaran film perdana yang sudah usang karena berulang kali diputar, lambat-lambat masih kuingat kenangan-kenangan itu bersamaan tangisku. Saat aku memutuskan untuk benar-benar jatuh cinta padanya. Aih, cinta! Padanyalah aku mengucapkan kata cinta. Hah! Hanya tiga kali terhitung aku bisa mengucapkan kata “ Aku sayang kamu” dihadapannya langsung. Entahlah, aku bukan tipe orang yang bisa mengatakan kata sayang semudah aku minta jajan pada ibuku ketika aku masih kecil. Tetapi sayangnya, keputusanku untuk mencintainya hilang tergantikan luka yang tak kunjung sembuh. Mimpi menjalin hubungan tanpa cacat adalah hal yang benar-benar mustahil untuk hubungan kami kala itu. Apa pun. Apa pun aku lakukan. Menjadi musuh publik pun tak apa. Jungkir balik bangun pagi-pagi, klontang-klonteng di dapur menyempatkan diri membuatkannya sarapan sebelum aku memimpin rapat ospek hingga mengantarkan sarapan itu ke kosnya, kulakukan! Merendahkan diriku sendiri! Geli dan jijik, malu dan marah, jika aku mengingat betapa bodohnya aku dulu, dibutakan cinta yang sebegitu besar. Cinta yang tak bisa ia ambil sedikitpun untuk dibalasnya.

Marah dan kecewa yang hingga sekarang takkan tergantikan. Ucapan “Aku gak tahu sayang sama kamu setulus sayangmu ke aku apa nggak”, benar-benar telah meluluhlantakkan sistem pertahanan yang kubangun di bawah sadarku itu. Mati-matian aku menutup mata, hati, telinga dari banyak omongan tentangnya saat ia ada di luar jangkauanku tanpa mempersiapkan diri menghadapi realitas pahit ini. Hah! Habis-habisan aku menghambakan diriku padanya. Bisa kubayangkan bagaimana puasnya dia mendapatkan aku yang bisa dengan mudah dia manfaatkan. Kata andalannya “Aku gak pernah minta kamu melakukan ini padaku. Kamu yang mau”. Tamat. Habis riwayatku. Mati hatiku. Sial.

Empat bulan aku melarikan diri. Menghindari mata-mata dengan tatapan belas kasihan karena ceritaku sudah menjadi konsumsi publik. Mengingat aku pernah kalap seperti orang gila, kelepasan emosi di depan fakultas. Ditonton teman-teman rapat acara dan biang-biang ember. Huh! Malunya aku. Serasa tidak punya muka. Namun, semua sakit hati dan luka itu ternyata belum sepenuhnya menghapus rindu dan sayangku yang bersisa untuknya. Sepertinya hal ini yang menghalangi aku untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Alasan ketika ditanya oleh mereka? “Masih mau fokus ke skripsi dulu.”, tandasku singkat.

Terlibat jauh dalam dua hubungan tanpa status yang menorehkan luka dan menghapus pengharapanku setelahnya, sukses besar menempatkan aku di posisi:

Biarkan Cinta Memilihmu, Persiapkan Saja Hatimu untuk Kehadirannya yang Tiba-tiba.

Dan, disinilah aku. Pukul 00:10 am. Duduk di depan komputer. Insomnia setelah menangis sambil menatap cermin. Percaya atau tidak, itulah ritualku. Haha. Menangis sambil berkaca. Aku jadi bisa melihat ekspresi jelekku saat menangis, melihat ekspresi terlukanya yang memilukan sehingga aku bisa menguatkan hati dan diriku, menyemangati bagian-bagian yang masih kuat berjalan di atas kata KENYATAAN untuk terus maju dan tidak berada pada tempat dan luka yang sama. Kantuk belum menyerang. Sama seperti malam yang masih malas turun dari singgasananya. Kucari flashdisc-ku. Kukopi ketikan ini. Besok pagi-pagi setelah subuh, setelah packing untuk mempersiapkan penghabisan waktu di rumah, akan ku paste cerita ini. Ku publish apa yang tak bisa kuceritakan tapi aku ingin ada yang mendengarkan. Haa. Tak sabar menunggu esok. Mudah-mudahan tidak kesiangan. Tak tahan panasnya perjalanan dengan angkot dari Bogor ke Parung, Parung ke Pamulang. Fiuuuh. Saatnya tidur.

Killing time yang melegakan.

Ku klik ikon Shutdown.

Perlahan beranjak mendekati peraduan. Kupejamkan mata sambil berharap...

Semoga besok lebih indah dari hari ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar